Fauna tanah atau hewan
tanah adalah hewan yang hidup di dalam tanah, baik yang hidup di permukaan
tanah maupun yang di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatu bentangan alam
yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses pelapukan
batu-batuan dan bahan organik yang terdiri dari organisme tanah dan hasil
pelapukan sisa tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah
merupakan bagian dari ekosistem tanah. Dengan demikian kehidupan hewan yanah sangat
ditentukan oleh faktor-faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari
ekologi hewan tanah selalu diukur (Suin, 1997).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat
sulit menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu
tanah akan sangat menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah.
Terhadap pelapukan bahan induk tanah suhu juga sangat besar perannya. Fluktuasi
suhu tanah lebih rendah daripada suhu udara dan suhu tanah sangat bergantung
pada suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam suatu hari
satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga bergantung pada keadaan
cuaca, topografi, daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997).
Secara ekologis, tanah tersusun oleh tiga kelompok material,
yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hayati), faktor
biotik merupakan bahan organik dan faktor abiotik berupa pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay)
umumnya sekitar 5% penyusun tanah merupakan biomassa. Meskipun hanya 5 persen,
biomassa atau bahan organik ini berperan
sangat penting karena peran yang dimilikinya, yaitu:
1.
Sebagai bahan koloidal tanah, di samping
koloidal liat, yang mempengaruhi sifat-sifat kimiawi tanah seperti dalam proses
pertukaran kation dan anion dan sifat-sifat fisik tanah seperti struktur dan
eradibilitas tanah.
2.
Berperan penting sebagai sumber hara
(nutrition), tanah yang akan tersedia (available) bagi tanaman (juga mikroba)
setelah bahan organik mengalami perombakan menjadi senyawa-senyawa sederhana
(dekomposisi dan mineralisasi) (Hanafiah dkk., 2005).
Berdasarkan sifat dan peran unsur hara, kesuburan tanah dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
- Kesuburan
aktif atau aktual tanah, yakni kesuburan tanah yang secara langsung dapat
dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan hewan.
- Kesuburan
potensial tanah, yakni kesuburan tanah yang baru akan bisa digunakan oleh
tanaman, setelah diadakan perlakuan (treatment) dalam waktu yang relatif
lebih lama dan tidak sekadar pengolahan tanah, pemupukan atau pengapuran
irigasi dan drainase. Kesuburan tersebut dalam bentuk:
a.
Unsur hara yang masih merupakan penyusun
bahan organik yang terdapat di dalam tanah baik berupa serasah, humus dan
lain-lain.
b.
Unsur hara yang masih di dalam mineral
primer dan atau sekunder yang ada di dalam tanah (belum lapuk)
(Subroto,
2005).
Seluruh kehidupan di alam raya bersama lingkungan secara
keseluruhan menyusun eksosfer. Eksosfer yang disusun yang dihuni oleh berbagai
komunitas biota yang mandiri serta lingkungan abiotik (anorganik) dan
sumber-sumbernya disebut ekosistem. Setiap organisme diartikan oleh adanya
kombinasi yang unik antara biota (organisme) dan sumber-sumber abiotik yang
berfungsi memelihara kesinambungan aliran energi dan nutrisi (hara) bagi biota
tersebut. Semua ekosistem berdasarkan sumber karbonnya mempunyai dua tipe
biota, yaitu jasad ototrofik yang menggunakan C-anorganik terutama CO2 sebagai
sumber karbonnya. Dalam ekosistem tanah terdapat tiga kelompok biota
terpenting, yaitu:
- Foto-ototrofik,
yang mencakup tumbuhan tingkat tinggi dan beberapa algae.
- Khemo-ototrofik,
seperti bakteri nitrifikasi dan bakteri pengoksidasi sulfur, serta
- Khemo-heterotrofik,
seperti hewan, protozoa, jamur dan beberapa bakteri (Hanafiah dkk., 2005).
Kelompok-kelompok organisme yang hidup di
tanah membentuk suatu lokasi ada suatu sistem yang terintegrasi yang dapat juga
disebut “komunitas tanah” yang bersama-sama dengan faktor lingkungannya dapat
disebut “ekosistem tanah” (Suin, 1997).
Kelompok hewan tanah sangat banyak dan
beranekaragam mulai dari protozoa, rotifera, nematoda, annelida, mollusca,
arthropoda hingga vertebrata. Hewan tanah pula dikelompokkan atas dasar ukuran
tubuhnya, kehadirannya di tanah habitat yang dipilihnya dan kegiatan
makanannya. Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi atas kelompok transek,
temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang
digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon dan eudafon. Hewan epigeon hidup pada
lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah dan yang eudafon hidup pada lapisan
tanah mineral. Berdasarkan kegiatan makanannya, hewan tanah ada yang bersifat
herbivora, saprovora, fungivora dan predator (Suin, 1997).
Penelitian mengenai hewan tanah di
Indonesia masih sedikit sekali. Penelitian tentang hewan tanah yang pertama di
Indonesia dilakukan pada tahun 1925 oleh Dammerman. Dari hasil penelitian
ternyata hewan permukaan tanah yang paling tinggi kepadatan populasinya adalah
Hymenoptera yaitu famili Formicidae diikuti Coleoptera, Onisceodia, Myriopoda
dan Arachnida. Dari hasil penelitian Adianto di Jawa Barat dan Suhardjono di
Kalimantan, ternyata hewan tertinggi kepadatan populasinya dari penelitian
Adianto ialah Aoanina, Collembola, Hymenoptera, Symphyia, Diplura dan Psoptera
(Suin, 1997).
Untuk mengenal hewan-hewan tanah,
ciri-ciri dari kelompok hewan tanah adalah (yang dikutip dari Lewis, T. dan
Taylor):
1.
a. Kaki bersegmen
b.
Tanpa kaki
2.
a. Mempunyai 3 pasang kaki atau bila 2
pasang mempunyai sayap yang berwarna cerah. Tubuh biasanya terdiri dari 3
bagian yang jelas, kepala, torak dan abdomen seperti class Insecta.
b. Mempunyai 3 pasang kaki, tubuh
memamnjang dan bersegmen (immoture)
yaitu class Insecta.
c. Mempunyai 3 pasang kaki, tubuh pendek
dan tidak bersegmen jelas. Tidak bersayap seperti ordo Acari.
d. Kaki 4 pasang atau lebih, jarang 2
pasang. Tidak bersayap, tubuh terdiri atas satu atau dua bagian.
Banyak kmikrobia yang telah diketahui
dapat hidup secara simbiosis dengan fauna tanah yang berada dalam fase larva
seperti Coleoptera, Diptera dan Hymenoptera. Hubungan ini khususnya yang
bersifat permanen, umumnya terbentuk bersama dengan fauna tanah humus yang
kurang. Mampu merobek sampah dedaunan yang terdapat di permukaan tanah.
Hubungan ini dapat terjadi sebagai akibat kurangnya nutrisi dalam humus yang tersedia
bagi fauna, sedangkan mikroba simbiosisnya mampu mensintesis hara esensial yang
tidak tersedia dalam tanah (Hanafiah dkk., 2005).
Suatu hubungan mikroba-fauna yang kurang
terintegrasi (agak longgar) terdapat pada fauna yang memelihara mikroba untuk
kemudian dimangsanya, misalnya:
1. Kumbang,
ambrosia penggerak kayu menumbuhkan sejumlah fungi di dalam terowongan
buatannya, seperti Ceratocyts, Cladashul porrum dan Pennicillum).
2. Pertumbuhan
fungsi yang seringkali dikaitkan dengan warna biru pada kayu dapat menyatu
dengan kayu atau dijumpai dalam tanah.
3. Semut
juga dapat memelihara fungi yang seringkali dijumpai sebagai biakan murni pada
fesesnya atau dedaunan
(Hanafiah
dkk., 2005).
Jasad hayati tanah ini berdasarkan
ukurannya dipilih menjadi tiga:
1. Makrobia:
jika ukurannya diatas 10 mm
2. Mesobia:
berukuran 0,2-10 mm
3. Mikrobia:
berukuran <0,2 mm (200 mm)
(Hanafiah
dkk., 2005).
Metode Plot (Berpetak)
Suatu metode yang berbentuk segi empat atau persegi (kuadrat) ataupun
lingkaran. Biasanya digunakan untuk sampling tumbuhan darat, hewan sessile
(menetap) atau bergerak lambat seperti hewan tanah dan hewan yang meliang.
Untuk sampling tumbuhan terdapat dua cara penerapan metode plot, yaitu :
-
Metode Petak Tunggal, yaitu metode yang
hanya satu petak sampling yang mewakili suatu areal hutan.
-
Metode Petak Ganda, yaitu pengambilan
contoh dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar
merata (sebaiknya secara sistematik) (Suin, 1997).
Metode Transek (Jalur).
Untuk vegetasi padang rumput penggunaan metode plot kurang praktis. Oleh karena
itu digunakan metode transek, yang terdiri dari:
-
Line
Intercept (Line Transect),
yaitu suatu metode dengan cara menentukan dua titik sebagai pusat garis
transek. Panjang garis transek dapat 10 m, 25 m, 50 m atau 100 m.
-
Belt
Transect, yaitu suatu metode dengan cara mempelajari
perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi dan elevasi.
Transek dibuat memotong garis topografi dari tepi laut ke pedalaman, memotong
sungai atau menaiki dan menuruni lereng pegunungan. Lebar transek 10 – 20 m
dengan jarak antar transek 200 – 1000 m (tergantung intensitas yang
dikehendaki). Untuk kelompok hutan yang luasnya 10.000 ha, intensitas yang
digunakan 2 % dan hutan yang luasnya 1.000 Ha atau kurang intensitasnya 10 %.
-
Strip Sensus, yaitu pada dasarnya sama
dengan line transect hanya saja penerapannya ekologi vertebrata terestrial
(daratan). Metode ini meliputi berjalan sepanjang garis transek dan mencatat
spesies-spesies yang diamati di sepanjang garis transek tersebut. Data yang
dicatat berupa indeks populasi (indeks kepadatan) (Suin, 1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar