Sabtu, 22 Juni 2013

Sampling Fauna Tanah

Fauna tanah atau hewan tanah adalah hewan yang hidup di dalam tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang di dalam tanah. Tanah itu sendiri adalah suatu bentangan alam yang tersusun dari bahan-bahan mineral yang merupakan hasil proses pelapukan batu-batuan dan bahan organik yang terdiri dari organisme tanah dan hasil pelapukan sisa tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya. Jelaslah bahwa hewan tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah. Dengan demikian kehidupan hewan yanah sangat ditentukan oleh faktor-faktor fisika-kimia tanah, karena itu dalam mempelajari ekologi hewan tanah selalu diukur (Suin, 1997).
      Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat sulit menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan sangat menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Terhadap pelapukan bahan induk tanah suhu juga sangat besar perannya. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah daripada suhu udara dan suhu tanah sangat bergantung pada suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam suatu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga bergantung pada keadaan cuaca, topografi, daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997).
      Secara ekologis, tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hayati), faktor biotik merupakan bahan organik dan faktor abiotik berupa pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay) umumnya sekitar 5% penyusun tanah merupakan biomassa. Meskipun hanya 5 persen, biomassa atau bahan  organik ini berperan sangat penting karena peran yang dimilikinya, yaitu:
1.      Sebagai bahan koloidal tanah, di samping koloidal liat, yang mempengaruhi sifat-sifat kimiawi tanah seperti dalam proses pertukaran kation dan anion dan sifat-sifat fisik tanah seperti struktur dan eradibilitas tanah.
2.      Berperan penting sebagai sumber hara (nutrition), tanah yang akan tersedia (available) bagi tanaman (juga mikroba) setelah bahan organik mengalami perombakan menjadi senyawa-senyawa sederhana (dekomposisi dan mineralisasi) (Hanafiah dkk., 2005).
      Berdasarkan sifat dan peran unsur hara, kesuburan tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Kesuburan aktif atau aktual tanah, yakni kesuburan tanah yang secara langsung dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan hewan.
  2. Kesuburan potensial tanah, yakni kesuburan tanah yang baru akan bisa digunakan oleh tanaman, setelah diadakan perlakuan (treatment) dalam waktu yang relatif lebih lama dan tidak sekadar pengolahan tanah, pemupukan atau pengapuran irigasi dan drainase. Kesuburan tersebut dalam bentuk:
a.       Unsur hara yang masih merupakan penyusun bahan organik yang terdapat di dalam tanah baik berupa serasah, humus dan lain-lain.
b.      Unsur hara yang masih di dalam mineral primer dan atau sekunder yang ada di dalam tanah (belum lapuk)
(Subroto, 2005).
      Seluruh kehidupan di alam raya bersama lingkungan secara keseluruhan menyusun eksosfer. Eksosfer yang disusun yang dihuni oleh berbagai komunitas biota yang mandiri serta lingkungan abiotik (anorganik) dan sumber-sumbernya disebut ekosistem. Setiap organisme diartikan oleh adanya kombinasi yang unik antara biota (organisme) dan sumber-sumber abiotik yang berfungsi memelihara kesinambungan aliran energi dan nutrisi (hara) bagi biota tersebut. Semua ekosistem berdasarkan sumber karbonnya mempunyai dua tipe biota, yaitu jasad ototrofik yang menggunakan C-anorganik terutama CO2 sebagai sumber karbonnya. Dalam ekosistem tanah terdapat tiga kelompok biota terpenting, yaitu:
  1. Foto-ototrofik, yang mencakup tumbuhan tingkat tinggi dan beberapa algae.
  2. Khemo-ototrofik, seperti bakteri nitrifikasi dan bakteri pengoksidasi sulfur, serta
  3. Khemo-heterotrofik, seperti hewan, protozoa, jamur dan beberapa bakteri (Hanafiah dkk., 2005).
      Kelompok-kelompok organisme yang hidup di tanah membentuk suatu lokasi ada suatu sistem yang terintegrasi yang dapat juga disebut “komunitas tanah” yang bersama-sama dengan faktor lingkungannya dapat disebut “ekosistem tanah” (Suin, 1997).
      Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beranekaragam mulai dari protozoa, rotifera, nematoda, annelida, mollusca, arthropoda hingga vertebrata. Hewan tanah pula dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah habitat yang dipilihnya dan kegiatan makanannya. Berdasarkan kehadirannya, hewan tanah dibagi atas kelompok transek, temporer, periodik dan permanen. Berdasarkan habitatnya hewan tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon dan eudafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah dan yang eudafon hidup pada lapisan tanah mineral. Berdasarkan kegiatan makanannya, hewan tanah ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungivora dan predator (Suin, 1997).
      Penelitian mengenai hewan tanah di Indonesia masih sedikit sekali. Penelitian tentang hewan tanah yang pertama di Indonesia dilakukan pada tahun 1925 oleh Dammerman. Dari hasil penelitian ternyata hewan permukaan tanah yang paling tinggi kepadatan populasinya adalah Hymenoptera yaitu famili Formicidae diikuti Coleoptera, Onisceodia, Myriopoda dan Arachnida. Dari hasil penelitian Adianto di Jawa Barat dan Suhardjono di Kalimantan, ternyata hewan tertinggi kepadatan populasinya dari penelitian Adianto ialah Aoanina, Collembola, Hymenoptera, Symphyia, Diplura dan Psoptera (Suin, 1997).
      Untuk mengenal hewan-hewan tanah, ciri-ciri dari kelompok hewan tanah adalah (yang dikutip dari Lewis, T. dan Taylor):
1.     a. Kaki bersegmen
b.  Tanpa kaki
2.     a. Mempunyai 3 pasang kaki atau bila 2 pasang mempunyai sayap yang berwarna cerah. Tubuh biasanya terdiri dari 3 bagian yang jelas, kepala, torak dan abdomen seperti class Insecta.
b. Mempunyai 3 pasang kaki, tubuh memamnjang dan bersegmen  (immoture) yaitu class Insecta.
c. Mempunyai 3 pasang kaki, tubuh pendek dan tidak bersegmen jelas. Tidak bersayap seperti ordo Acari.
d. Kaki 4 pasang atau lebih, jarang 2 pasang. Tidak bersayap, tubuh terdiri atas satu atau dua bagian.
      Banyak kmikrobia yang telah diketahui dapat hidup secara simbiosis dengan fauna tanah yang berada dalam fase larva seperti Coleoptera, Diptera dan Hymenoptera. Hubungan ini khususnya yang bersifat permanen, umumnya terbentuk bersama dengan fauna tanah humus yang kurang. Mampu merobek sampah dedaunan yang terdapat di permukaan tanah. Hubungan ini dapat terjadi sebagai akibat kurangnya nutrisi dalam humus yang tersedia bagi fauna, sedangkan mikroba simbiosisnya mampu mensintesis hara esensial yang tidak tersedia dalam tanah (Hanafiah dkk., 2005).
      Suatu hubungan mikroba-fauna yang kurang terintegrasi (agak longgar) terdapat pada fauna yang memelihara mikroba untuk kemudian dimangsanya, misalnya:
1.    Kumbang, ambrosia penggerak kayu menumbuhkan sejumlah fungi di dalam terowongan buatannya, seperti Ceratocyts, Cladashul porrum dan Pennicillum).
2.    Pertumbuhan fungsi yang seringkali dikaitkan dengan warna biru pada kayu dapat menyatu dengan kayu atau dijumpai dalam tanah.
3.    Semut juga dapat memelihara fungi yang seringkali dijumpai sebagai biakan murni pada fesesnya atau dedaunan
(Hanafiah dkk., 2005).
      Jasad hayati tanah ini berdasarkan ukurannya dipilih menjadi tiga:
1.    Makrobia: jika ukurannya diatas 10 mm
2.    Mesobia: berukuran 0,2-10 mm
3.    Mikrobia: berukuran <0,2 mm (200 mm)
(Hanafiah dkk., 2005).
Metode Plot (Berpetak) Suatu metode yang berbentuk segi empat atau persegi (kuadrat) ataupun lingkaran. Biasanya digunakan untuk sampling tumbuhan darat, hewan sessile (menetap) atau bergerak lambat seperti hewan tanah dan hewan yang meliang. Untuk sampling tumbuhan terdapat dua cara penerapan metode plot, yaitu :
-        Metode Petak Tunggal, yaitu metode yang hanya satu petak sampling yang mewakili suatu areal hutan.
-        Metode Petak Ganda, yaitu pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata (sebaiknya secara sistematik) (Suin, 1997).
Metode Transek (Jalur). Untuk vegetasi padang rumput penggunaan metode plot kurang praktis. Oleh karena itu digunakan metode transek, yang terdiri dari:
-        Line Intercept (Line Transect), yaitu suatu metode dengan cara menentukan dua titik sebagai pusat garis transek. Panjang garis transek dapat 10 m, 25 m, 50 m atau 100 m.
-        Belt Transect, yaitu suatu metode dengan cara mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi dan elevasi. Transek dibuat memotong garis topografi dari tepi laut ke pedalaman, memotong sungai atau menaiki dan menuruni lereng pegunungan. Lebar transek 10 – 20 m dengan jarak antar transek 200 – 1000 m (tergantung intensitas yang dikehendaki). Untuk kelompok hutan yang luasnya 10.000 ha, intensitas yang digunakan 2 % dan hutan yang luasnya 1.000 Ha atau kurang intensitasnya 10 %.
-        Strip Sensus, yaitu pada dasarnya sama dengan line transect hanya saja penerapannya ekologi vertebrata terestrial (daratan). Metode ini meliputi berjalan sepanjang garis transek dan mencatat spesies-spesies yang diamati di sepanjang garis transek tersebut. Data yang dicatat berupa indeks populasi (indeks kepadatan) (Suin, 1997).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar